Malam datang! Kegelapan perlahan menggerogoti senja, menyisakan sunyi yang mencekam. Para binatang malam sepakat untuk diam. Tidak terdengar bunyi jangkrik atau lolongan serigala padahal jelas-jelas ini musim kawin dan bulan purnama. Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah hutan belantara menjadikan sinar bulan purnama sebagai penerang, penujuk arah. Tujuanku hanya satu, jurang di ujung hutan yang terjal. Jurang penyelamat yang menyelamatkan aku dari kehidupan yang fana ini. Aku ingin mati hari ini. Aku ingin mengakhiri hidupku yang fana. Ahh benarkah aku hidup? Sungguh, aku tak pernah merasa benar-benar hidup. Aku hanyalah seonggok daging yang bernyawa. Bernyawa bukan berarti hidup, memiliki nyawa tidak sama artinya dengan memiliki hidup. Malam kian gelap dan sunyi. Para binatang malam masih tak berniat untuk bersuara. Sunyi dan gelap sama sekali tidak membuat bulu kudukku bergeming. Mungkin karena sudah tak tersisa lagi rasa takut dalam diriku ini. Rasa takut itu sudah lama mati bersama rasa cinta. Aku sampai di tepi jurang dan menatap bulan purnama yang menyinari malam. Sunyi masih mencekam, binatang malam masih enggan bersuara. “Kau yakin akan mati, Anak muda?” Tiba-tiba seorang pria sangat mirip denganku berdiri di sampingku. Aku menatapnya kaget. “Siapa kau?” Tanyaku marah. “Aku adalah sisi dari dirimu yang masih ingin terus hidup.” kata pria itu sambil tersenyum. “Dasar bodoh! Kau hanyalah khayalanku saja. Aku mau mati dan jangan halangi aku.” Kataku marah. Pria itu tertawa “Dika, Apakah kau ingin mati? Apakah kau yakin menghentikan hidupmu sampai di sini?” Katanya kemudian. “Aku ingin mati. Tidak ada gunanya lagi aku hidup.” Bentakku marah. Dia tertawa lagi dan kali ini lebih keras. “Semua manusia takut mati Dika. Semua manusia takut mati.” Kata Pria itu lantang. “Siapa bilang? Aku tidak taku mati! Aku akan bunuh diriku sendiri sekarang. Aku akan melompat ke dalam jurang ini.” Kataku marah. Dia tertawa lebih keras dari sebelumnya. “Coba lakukan!” Tantangnya. Aku memandang jurang yang terbentang luas di hadapanku, bersiap untuk melompat. Tiba-tiba perasaan ngeri menjalar di seluruh tubuhku. Rasa takut yang kupikir telah mati pelan-pelan mengerogoti seluruh saraf di tubuhku. Aku enggan untuk melompat. Pria itu tertawa. “Lihat kau takut bukan.” Ejeknya “Aku tidak takut!” Kataku dengan suara bergetar. “Dika yang malang, Kehidupan dan kematian adalah suatu hal yang harus dihadapi. Kau memilih bunuh diri itu berarti kau kalah. Kau menghindar dari kehidupan dan juga kematian.” Pria itu berkata lagi. “Apa maksudmu menghindar dari kematian dan kehidupan. Aku pengangguran, kekasihku pergi dan ada kanker di dalam diriku. Cepat atau lambat aku akan mati. Salahkah aku memperceat proses itu?” Kataku lantang dan marah. Pria itu tertawa. “Kekurangan manusia adalah mereka tidak pernah tahu bahwa mereka terlahir untuk menghadapi setiap rintangan. Kau adalah manusia yang bernyawa. Nyawamu dipakai untuk menghadapi setiap rintangan. Kalo rintangan itu berat dan nyawamu tidak sanggup menghadapinya maka kau akan mati dengan damai. Kalau kau menghindar dari rintangan itu, kau tidak akan mati dalam damai.” Lagi pria itu berkata. “Siapa kau sebenarnya?” Kataku setelah lama terdiam. Pria itu tertawa. “Aku adalah bagian dari dirimu yang ingin terus hidup, Dika. Bagian dari kebanyakan manusia telah hilang karena keputusasaan dan berserah pada keadaan. Hanya ikan mati yang mengikuti gelombang laut! Ingat itu.” Katanya lagi. “Aku tidak peduli! Aku akan tetap memilih mati.” Kataku ngotot. Pria itu memandangku tersenyum mengejek. “Lakukanlah Dika!” Tantangnya. Dan kembali ketakutan menyelimutiku saat menatap jurang yang dalam itu. “Mungkin besok! Hari ini aku tidak jadi mati.” Kataku akhirnya. Pria itu tertawa. “Semua manusia takut mati, Dika. Semua manusia takut mati.” Katanya lalu kemudian menghilang. “Heyyy, Kemana kau? Jangan pergi begitu saja!” Aku berteriak marah. Siall pasti itu adalah khayalanku. Mereka bilang saat menjelang kematian orang-orang akan berhalusinasi. Halusinasi sialan! Umpatku kesal. Aku semakin mendekat ke tepi jurang. Tiba-tiba terdengar suara lolongan bserigala dari kejauhan dan seketika jangkrik jantan berbunyi di sekelilingku. Kutatap jurang terjal itu dan perasaan takut mati tiba-tiba muncul. “Semua orang takut mati!” Terdengar lagi suara pria yang mirip wajahku tadi. Sekali lagi aku menatap jurang yang menganga lebar di hadapanku. Dan seketika itu kuputuskan aku belum siap mati.
Minggu, 15 April 2012
aku ingin mati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar